Kupang, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selaku kepala negara, diharapkan lebih cepat menangani kasus pencemaran di Laut Timor, seperti yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Barack Obama saat menangani kasus pencemaran di Teluk Meksiko.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Damanik M Riza menyampaikan pernyataan itu, Kamis (10/6), mengingat dalam 10 bulan ini belum ada tindakan berarti dari Pemerintah RI untuk mengatasi persoalan ini. ”Nota protes perlu segera dikeluarkan, sekaligus menagih tanggung jawab Australia dan perusahaan kilang itu,” kata Damanik.
Pencemaran di Laut Timor terjadi akibat ledakan kilang minyak Montara, Australia, 21 Agustus 2009. Berdasarkan catatan Kiara, sejak terjadi ledakan itu setiap hari kilang tersebut memuntahkan 500.000 liter minyak ke perairan laut yang mengancam 17.000 masyarakat pesisir Pulau Timor. ”Sangat tidak fair, Montara memberikan kompensasi kepada nelayan Australia Barat, tapi tidak melakukan hal serupa terhadap nelayan Indonesia,” tambah Damanik
Pantauan Kompas, banyak nelayan maupun pembudidaya rumput laut terkena dampak pencemaran itu. Perkampungan nelayan Tablolong, sekitar 35 kilometer barat Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, mengaku jenis ikan pasir atau dasar laut dangkal, yang lazim disebut ikan ndusu, setahun belakangan ini menghilang dari perairan sekitar Pantai Tablolong. Pada saat bersamaan, hasil tangkapan nelayan dan petani rumput laut merosot tajam.
”Dulu pasang pukat selama dua jam bisa membawa pulang sekitar sekarung ikan. Belakangan ini dapat setengah karung saja amat sulit,” tutur Edber Naitoto (37), petani asal Kampung Temat Nunu, Kecamatan Kupang Barat, Kupang.
David Belu, petani rumput laut lainnya di Tablolong, juga mengaku usaha mereka selama hampir setahun ini nyaris tanpa panen.
Gangguan habitat
Ahli biokimia lipida dari Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Feliks Rebhung, yang melakukan pengamatan lapangan, kemarin menjelaskan, berbagai perubahan terjadi mengindikasikan telah terjadi gangguan lingkungan perairan yang merupakan habitat kawanan ikan atau rumput laut.
”Ikan juga memiliki indra yang berkemampuan mendeteksi perubahan lingkungan sekitarnya. Jika merasa terancam, ikan itu pasti berupaya mencari habitat baru yang dirasa aman. Begitu juga gangguan yang menimpa rumput laut, mengindikasikan ada sesuatu yang menyerangnya, apakah sebagai dampak pencemaran atau penyebab lainnya,” paparnya.
Di Jakarta Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menyatakan, tumpahan minyak Montara Well di permukaan laut Indonesia sudah tidak terdeteksi. Namun, ia mengakui bahwa hal itu bukan berarti perairan Indonesia sudah terbebas dari dampak pencemaran.
Menurut Fadel, posisi tumpahan minyak terdekat di permukaan laut dengan daratan berjarak sekitar 67,7 kilometer (37.76 nautical miles) arah tenggara Pulau Rote, NTT, pada 10 September 2009. Jika kini pencemaran tidak tampak lagi di permukaan laut, bukan berarti perairan Indonesia itu sudah bebas pencemaran. Itu lebih karena kemampuan satelit yang digunakan untuk memantau dampak tumpahan minyak tidak mampu mengenali obyek di kedalaman lebih dari 20 meter. (SUT/ANS/TRA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar